Minggu
hukum Islam mengenai percintaan pria-wanita
Mengakali Hukumkah Pacaran Islami?
“Kalian selalu mencari-cari alasan buat pacaran, ya?” (KHP: 104) Demikian dakwaan dari sebagian penghujat. “Tak sedikit,” tuduh mereka, “santri-santri yang sudah berani berpacaran dengan mengatasnamakan pacaran Islami. Mereka mencampurkan yang haq dengan [yang] bathil.” (PIA: 24) Mereka menghujat, “karena nggak pake dalil yang bener, ditempeli deh aktivitas itu dengan istilah ‘islami’. Harapannya, bisa enjoy menikmati hubungan tersebut. Alasannya, toh sudah ada sertifikat ‘halal’ dengan mencantumkan kata ‘islami’ di akhir kata ‘pacaran’. Gedubrak!” (JNC: 73) Lalu, saran mereka, “Jangan sampai kamu ‘ngakalin’ hukum gitu lho.” (JNC: 75) Benarkah dakwaan mereka itu? Bab 4 ini berjuang membela pelaku-pelaku ‘pacaran islami’, terutama dari kalangan santri dan remaja masjid, yang dituding mencari-cari alasan untuk mengakali hukum Islam.
Alasan Pacaran Islami Tidak Dicari-cari
“Sebuah ungkapan jangan ‘beli kucing dalam karung’ nampaknya menjadi alasan klasik.” (PIA: 33) Dalam prasangka sebagian penghujat, “alasan inilah yang paling banyak diakui oleh teman remaja yang pacaran. … Padahal, kayaknya cuma akal bulus deh.” (JNC: 68) Akal bulus? Tidak bolehkah kita berikhtiar untuk lebih mengenal calon pasangan hidup?
“Bohoong! Bohong banget kalau orang yang pacaran itu makin mengenal satu sama lain. Kalaupun iya, paling juga kenal luarnya doang.” (KHP: 117) Mereka mendakwa, “pacaran adalah saat-saat paling munafik dalam kehidupan seseorang.” (PIA: 34) “Kita lihat kan, berapa banyak orang pacaran dengan dalih ‘mengenal’ sebelum menikah, toh saat menikah mereka juga malah pada berantem terus. Hihihi… abis gimana? … abis nikah kebuka semua sih, sifat aslinya.” (KHP: 117-118) Ya. Itu bisa saja terjadi. Namun, untuk adilnya, kita harus melihat juga, berapa banyak orang ‘pacaran islami’ dan kemudian setelah menikah menjadi sangat rukun (jarang berantem), karena sudah saling kenal sebelum menikah. Abis, pada waktu ‘pacaran islami’ itu, sudah kebuka semua sih, sifat aslinya yang mendasar (kendati sifat-sifat lain yang tidak fundamental belum terkuak).
“Standar mengenal juga nggak bisa dipastikan.” Maka, menurut sebagian penghujat, “yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa lama mereka ‘mencoba mengenal’, namun seberapa siap seorang laki-laki dan perempuan untuk memahami dan bertanggung jawab dalam bingkai sebuah hubungan yang dihalalkan. Bukan begitu?” (KHP: 120-121) Bukan! Argumentasi tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘dilema yang keliru’. (Lihat JSP: 43.) Mengapa keliru, berikut ini penjelasan saya.
Bagi orang yang merasa belum siap nikah, pacaran itu bisa menciptakan rasa saling-kenal, sehingga ia menjadi merasa siap untuk meresmikan hubungan. Sementara itu, bila kita tanpa pacaran sudah bisa merasa siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan, itu antara lain karena ada rasa saling-kenal yang mendasarinya, meskipun sedikit. Rasa saling-kenal tambahan (yang tumbuh dari pacaran, misalnya) dapat membuat kita lebih merasa siap untuk menikah.
Rasa mengenal itu lebih kita butuhkan daripada pengetahuan tentang si dia. Jika kita tahu banyak, tetapi belum merasa cukup-mengenal, maka banyaknya pengetahuan itu kurang memberi kita dorongan. Tapi, jika kita merasa cukup-mengenal, maka itu sudah dapat mendorong kita untuk merasa siap untuk menikah, walau menurut ‘standar orang-orang’ pengetahuan kita tentang si dia tidak banyak. Karena itu, tidak jelasnya standar mengenal tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau dalam rangka mendorong pacar agar dia semakin merasa ‘siap’ kita gunakan rayuan? Kita pakai kata-kata manis seperti: ‘Bulan madu ke awan biru, akan kugendong rembulan, kukantongi bintang-bintang. Kalau tak percaya, belahlah dadaku.’?
“Gombal! Dibohongin luuu! … Bohoooong.” (KHP: 83; PIA: 34) Bohong? Belum tentu. Menurut Yusuf Qardhawi dan ar-Raghib al-Isfahani, berbagai macam majâz (kiasan) “yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual, … tidak boleh dianggap sebagai kebohongan.” (BMHN: 167-168) Rasulullah saw. pun dalam berbahasa sering memakai majâz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara-cara yang “sangat mengesankan”. (BMHN: 167)
Jika cara rayuan maut, pemberian dorongan kuat, dan perhatian besar demi kelanggengan hubungan sudah dijalankan, tetapi akhirnya tidak bersanding di pelaminan, bagaimana? “Jodoh di tangan Allah, bukan di tangan pacarmu. Maksudnya, biar sudah pacaran jungkir balik kalau Allah menentukan bukan jodoh, ya… nggak kesampaian.” (KHP: 172) Ya, ada benarnya. Biar sudah kerja banting tulang, kalau Allah menentukan bukan rezeki kita, ya… nggak kesampaian. Biar sudah jungkir balik menjaga kesehatan dan keselamatan, kalau Allah menentukan waktunya ajal, ya… kesampaian. Lantas, apakah kita tak perlu bekerja keras, tak perlu menjaga kesehatan dan keselamatan, tak perlu berikhtiar mengusahakan calon jodoh?
Tidakkah “suatu kesia-siaan saja jalan bersama seseorang yang belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup”? (KHP: 127) Tidak. Karena pacar Anda belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup Anda, ya jalan bersamanya tidak usah seratus persen. Tidurnya sendiri-sendiri, mandinya sendiri-sendiri. Jika, dalam perhitungan akal sehat Anda, peluang dia hanya limapuluh persen, ya jalan bersama dianya cukup limapuluh persen juga. Kuota limapuluh persen itu sudah cukup lumayan untuk menjadi ladang amal melalui pacaran islami. “Barangsiapa membawa kebaikan, balasannya akan lebih baik dari itu.” (al-Qashshash [28]: 84)
Amal itu tidak pernah sia-sia selama kita ikhlas melakukannya. Karena itu, ketika Anda berbuat baik kepada pacar Anda, janganlah Anda pikirkan apakah akhirnya dia akan ditaqdirkan Allah menjadi pasangan hidup ataukah tidak.
Memang, kita tak kuasa mengubah qadar. Namun, Tuhan berkuasa mengubahnya. “Dihapuskan-Nya apa yang Dia kehendaki, dan ditetapkan-Nya apa yang Dia kehendaki.’ (ar-Ra’du [13]: 39) Agar perubahan itu terjadi, ada syaratnya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri.” (ar-Ra’du [13]: 11) Karena itu, di samping berdoa, haruslah kita berikhtiar supaya keadaan buruk kita diubah oleh Tuhan, diubah-Nya menjadi baik menurut kehendak-Nya. (TM: 101) Walau jodoh di tangan Tuhan, “Allah telah mempersilakan kita untuk menjemputnya dengan ikhtiar kita.” (NAI 58-59; lihat MCMD: 176-180.) Caranya, antara lain, bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Sssttt,” bisik sebagian penghujat, “orang-orang yang jatuh cinta itu —menurut penelitian [antropolog Helen Fischer]— ngeluarin hormon yang bikin bodho. … Otak kirinya nggak bekerja.” (KHP: 108) Tapi, riset tersebut bertentangan dengan penelitian ahli-ahli psikologi, khususnya yang mendalami bidang kecerdasan. Daripada Fischer, mereka lebih dapat dipercaya untuk dijadikan narasumber dalam masalah kecerdasan, bukan?
Menurut penelitian pakar-pakar kecerdasan itu, emosi (perasaan) memang dapat melumpuhkan otak kiri, tetapi itu hanya terjadi pada emosi negatif yang teramat kuat. (KE: 110) Emosi negatif itu berupa amarah, kecemasan, kesedihan, dsb. (KE: 77-108) Adapun rasa cinta itu sendiri bukanlah emosi yang negatif. (Lihat KE: 8 dan 15.) Jadi, rasa cinta tidak akan melumpuhkan otak kiri (tidak akan menyebabkan kebodohan).
Bagi sebagian orang yang lebih mengunggulkan otak kiri daripada yang kanan, bercintaan dengan kekasih-tetap mungkin dianggap ketinggalan zaman. “Kuno!” seru sebagian penghujat. Alasan mereka, “Zamannya apa-apa musti cepet, kok masih sempat-sempatnya bersayang-sayangan.” (KHP: 149) Tapi, ahli-ahli biologi evolusi dan psikologi kecerdasan berpandangan lain. Menurut penelitian para pakar itu, ciri aktivitas otak primitif adalah ‘cepat tapi ceroboh’, sedangkan yang modern adalah ‘teliti walau lambat’. (KE: 31) Dengan demikian, yang lebih modern bukanlah yang lebih cepat, buru-buru, dsb., melainkan yang lebih cermat, penuh perhatian, dsb.. Jadi, bila kita pacaran secara Islami agar lebih teliti lagi dalam ‘melihat calon’, bukan untuk menunda-nunda pernikahan, alasan ini memiliki dasar yang kuat, tidak dicari-cari.
Islamisasi Pacaran Dibenarkan Syari’at
“Nggak setiap perbuatan apabila diembel-embeli dengan kata ‘islami’ bisa langsung dikatakan halal untuk dilakukan. Nggak lho, kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Benar! Halal-haramnya sesuatu tidak bergantung pada namanya, tapi pada aktivitasnya. Apa aktivitas dalam pacaran? Bercintaan dengan kekasih-tetap. Haramkah aktivitas ini? Tidak selalu.
Namun, dalam pandangan sebagian penghujat, “yang namanya hubungan antara laki-laki dan perempuan selain nikah tuh, rawaaan banget.” (KHP: 115) Dengan kata lain, menurut mereka, “peluang nggak baiknya lebih banyak daripada manfaatnya.” (KHP: 114) Padahal, itu hanya terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’. Pada ‘pacaran islami’, hubungannya tidak rawan.
Sebagian penghujat menuntut, “jangan nyari alasan bahwa pacaran kalian nggak pakai aktivitas-aktivitas begituan. Jangan mencari alasan pembenar kalau kalian pacaran islami segala.” (KHP: 167, 169) Mereka menolak sebuah argumen dari sebagian orang di antara kita (yang berhati-hati dalam melakukan pacaran islami) bahwa aktivitas pacaran islami itu “no kiss, no touch. Kalau ketemu ya di masjid. [Padahal, di tempat lain pun tidak apa-apa.] Ngobrolnya jauhan. [Padahal, berdekatan pun boleh, selama tidak ‘mendekati zina’.] Nggak pernah pegangan tangan kalau jalan berdua. [Padahal, ada kalanya pegangan tangan dihalalkan.] Nggak ada jadwal khusus untuk wakuncar. Kapan-kapan aja kalau mau. [Padahal, terjadwal pun tak tercela.] Melepas rindu pun cukup bicara lewat telepon, atau mungkin kirim-kirim SMS dan e-mail saja. [Padahal, langsung tatap-muka pun tidak haram, selama tidak ‘mendekati zina’.] Pokoknya asli tanpa ciuman dan tanpa sentuhan. [Padahal, tidak semua sentuhan terlarang.] Aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu.” (JNC: 71-72)
“Waduh, dari mana pula dapet ‘dalil’ begini rupa?” protes mereka. (JNC: 72) Dari mana? Ya dari argumentasi mereka sendiri! Mereka sendiri yang meminta, “kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Mengapa saat kita kemukakan daftar aktivitas yang mereka minta untuk kita lihat itu, mereka sendiri tidak mau menggubris? Mengapa, sebelum daftar tersebut mereka periksa Islami-tidaknya, kita sudah dituduh “selalu mencari-cari alasan buat pacaran”? (KHP: 104)
Kita yakin, “Yang haram tetap haram dan tidak bisa berubah hukum sekalipun dikaitkan dengan simbol-simbol Islam.” (PIA: 22) “Mana mungkin yang haram bisa berubah jadi halal jika diganduli kata ‘islami’.” (JNC: 72-73.) Memang tidak mungkin. Tapi, apakah “yang namanya pacaran itu, bagaimanapun alasannya kagak pernah ada dalam aturan Islam”? (KHP: 174) Aktivitas haram manakah yang berubah jadi halal dalam pacaran islami? Apakah aktivitas-aktivitas di dalam daftar tadi, yang “aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu”, itu haram? Apakah ketemu di masjid, ngobrol jauhan, bicara lewat telepon, atau kirim-kirim SMS dan e-mail itu haram?
Kita tidak membantah, praktek pacaran pada umumnya bolehjadi melanggar syari’at. “Pacaran yang katanya ajang bagi sepasang kekasih untuk saling mengenal pun, tak sekadar itu. Bahkan lebih,” (KHP: 137) yaitu “pengumbaran nafsu syahwat.”(PDKI: 35) Yang parah, “‘Making Love’ (seks) bagi sebagian orang memang menjadi bumbu penyedap dalam pacaran.” (JNC: 78)
Kepada penulis dan penerbit KHP, PIA, JNC, dan PDKI, kita berterima kasih atas peringatan akan penyimpangan-penyimpangan itu. Mudah-mudahan, dengan begitu, kita menjadi lebih berhati-hati dalam berpacaran. Selain itu, semoga pemberitahuan semacam itu tidak membuat pasangan yang selama ini lurus malah menjadi terdorong untuk menyimpang, seperti cium-ciuman, peluk-pelukan, raba-rabaan, dsb., dengan dalih: “Ini kan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang pacaran!” Bagaimanapun, kebenaran dan kebaikan bukan terletak pada apa yang biasanya terjadi.
Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita menghadapi begitu banyaknya penyimpangan di dunia pacaran? Kita dapat belajar dari sebuah hadits shahih bahwa “Ilmu [agama] ini diemban dalam setiap generasi belakangan oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat bathil, dan pentakwilan orang-orang bodoh.” (HR al-Baihaqi)
Dalam belajar ini, kita dapat mencontoh sebuah model solusi yang telah dijalankan oleh Hamka. Melihat banyaknya penyimpangan yang serius di dunia ‘tasauf’ yang menjurus syirik, yang dosanya mungkin jauh lebih besar daripada dosa zina yang terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’, ulama kita ini tidak serta-merta mengharamkan segala bentuk ‘tasauf’. Dengan mengetengahkan konsep ‘Tasauf Modern’, Hamka bertekad, “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf.” (TM: 17)
Oleh sebab-sebab itu, strategi yang kita pilih adalah islamisasi, meluruskan aneka penyimpangan, mengambil yang haq dan menyingkirkan yang bathil (tidak mencampur-adukkan antara keduanya), merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Langkah islamisasi seperti ini dapat dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua pegangan, sehingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dan Hakim)
Jangan Berlebihan dalam Mencegah Zina!
Sebagian orang berkata, pacaran itu “aktivitas yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (JNC: 75) Hah?! Diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya? “Celakalah orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri kemudian mereka katakan bahwa buatan tangan mereka sendiri itu dari Allah.” (al-Baqarah [2]: 79) Rasul-Nya bersabda: “Barangsiapa sengaja berbohong tentang diriku [tentang sesuatu yang dilakukan atau diucapkan oleh beliau] maka hendaknya ia bersiap-siap memasuki tempatnya di neraka.” (BMHN: 69)
Wahai pengharam ‘pacaran islami’! Terangkanlah kepada kami tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kita, lalu kamu jadikan sebagiannya haram! Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu untuk menetapkan haramnya rezeki-Nya itu? Ataukah kamu mengada-ada saja? (Lihat Surat Yunus [10] ayat 59.)
Sebagian penghujat menetapkan, “Mustahil ada pacaran dalam Islam atau mustahil ada pacaran yang islami. Seperti halnya mustahil ada judi yang islami, … dll.” (PIA: 22) “Gimana bisa disebut islami,” alasan mereka, “wong judi itu sendiri adalah aktivitas haram.” (JNC: 72) Namun, alasan tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘analogi yang pincang’. (Lihat JSP: 22.)
Memang, judi jelas-jelas dinyatakan sebagai “perbuatan keji buatan syetan” (al-Maa’idah [5]: 90). Akan tetapi, manakah ayat Qur’an atau pun hadits yang menyebutkan haramnya ‘bercintaan dengan kekasih-tetap’? Kalau tidak ada bukti haramnya, bukankah tidak mustahil ada pacaran yang islami? (Lihat Bab 2.)
Mereka mengakui, “Memang nggak pernah ada istilah La tapaccaru (jangan pacaran). Tapi,” saran mereka, “mbok ya cerdas dikit dooong, kalau aktivitas ini jadi pintu masuk zina.” (KHP: 167) Padahal, pacaran Islami kan nggak sampai mendekati pintu masuk zina! [Lihat Bab 3.]
“Benar, tapi bukankah perzinaan juga dimulai dari hal yang kecil?” debat mereka. (JNC: 59) Iya, memang begitu. “Setiap orang memiliki nafsu birahi. Nafsu ini sengaja ditunggangi oleh syetan agar manusia dapat melampiaskannya di luar jalur Islam. Di antara cara syetan menunggangi nafsu birahi ini adalah dengan pacaran.” (PIA: 26) “Memang, nggak semua cowok dan cewek berengsek, tapi masalahnya, setan ada di mana-mana.” (KHP: 137)
Lantas, apakah karenanya “Pacaran itu jalan syetan yang lurus (menuju neraka)”? (PIA: 26) Mari kita bandingkan dengan jalan syetan lainnya. Selain melalui kecintaan terhadap lawan-jenis, syetan dapat menyimpangkan kita keluar dari jalur Islam melalui kecintaan terhadap harta dan anak-anak. (Lihat Ali ‘Imran [3]: 14 dan KW3: 279-287.) Lalu, apakah karenanya berharta atau pun beranak itu jalan syetan yang lurus menuju neraka? Belum tentu. Nah! Begitu pula pada kejadian bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Kalau kamu sering bertemu dengan lawan jenis,” debat mereka lagi, “nggak ada jaminan kan kalau kamu bisa tahan godaan.” (JNC: 59) Ada! Bahkan, jaminannya sudah mereka katakan sendiri: “Cinta sejati … akan senantiasa lulus dari berbagai ujian.” (JNC: 35) “Mencintai seseorang berarti menjaganya…. Tidak mungkin, seseorang yang mencintai orang lain dengan sebenar-benar cinta akan ‘merusak’ sesuatu yang dicintainya, meskipun dia memiliki ‘kesempatan’ untuk itu.” (KHP: 258) [Selain itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah cukup sempurna sebagai pedoman untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya zina.]
Ataukah mereka kira, yang dapat menjalani cinta ‘sejati’ [berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah] itu hanya mereka? Orang Islam lainnya takkan bisa tahan godaan? Percaya tak percaya, syari’at Islam mengakui kesucian fitrah dan ketulusan orang Islam. Kita pun diperintahkan untuk “mempercayai masyarakat muslim dan berprasangka baik terhadap mereka.” (KW3: 224-225; lihat an-Nuur [24]: 12.)
Kita bukan hanya dilarang berlebihan dalam mencegah kemunkaran yang mungkin akan terjadi pada orang lain. Dalam mencegah diri sendiri berzina pun kita dilarang berlebihan.
Pernah, “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan berkata: ‘Ya Rasulullah, apabila aku makan daging walau sedikit, niscaya nafsuku terhadap wanita akan bergejolak. Oleh karena itu, aku haramkan daging bagi diriku.’ Maka turunlah ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang oleh Allah dihalalkan bagimu.’ (Ibnu Katsir memberitakan peristiwa itu di dalam kitab tafsirnya.)” (IEAP: 21) “Dan janganlah kamu berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (al-Maa’idah [5]: 87)
Namun, debat mereka: “Setiap orang yang berfikiran sehat pasti menyadari, alasan seperti di atas akan memberi peluang bagi tumbuh suburnya pergaulan bebas yang dapat mengakibatkan kebejatan akhlak.” (PDKI: 73-74) Pemberian izin ‘pacaran islami’ bisa disalahgunakan. Bahkan, ada yang berpandangan, ‘pacaran islami’ yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. mustahil (atau hampir mustahil) bisa diterapkan di masyarakat kita. (Lihat JCPI.)
Barangkali alasan mereka, “Masyarakat yang hidup pada zaman Rasulullah saw. adalah masyarakat saleh yang terhindar dari fitnah, sedangkan masyarakat kita sekarang banyak mengalami kemerosotan moral.” Namun, Abu Syuqqah mengabarkan: “anggota masyarakat yang hidup di Madinah pada zaman Rasulullah tidak semuanya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, atau seperti ‘Aisyah, Asma, dan Ummu Sulaim. Bahkan masyarakat Madinah saat itu terdiri atas berbagai golongan; ada orang-orang munafik, orang Yahudi…. Walaupun demikian, Allah tetap … membolehkan apa yang boleh.” (KW3: 255)
Memang, kita pun sedikit-banyak khawatir kalau-kalau pemberian izin ‘pacaran islami’ disalahgunakan. Sungguhpun begitu, dalam bersikap demikian kita jangan mengharamkan sesuatu yang tidak terlarang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Abdullah bin Umar, seorang shahabat yang dikenal “sangat berhati-hati” dan “banyak mengikuti jejak-jejak Rasulullah” (TTTI: 302).
Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi shalat ke masjid ketika mereka meminta izin kepada kalian.’ Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, aku akan melarang mereka karena izin itu akan mereka salah gunakan.’ Lalu Abdullah menemuinya dan memakinya dengan makian yang tidak pernah didengar sebelumnya seraya berkata, ‘Saya beritahu kamu tentang hadits Rasulullah saw. tapi kamu justru mengatakan, ‘Aku akan melarang mereka.’” (HR Muslim)
Dengan Pacaran Islami, Muliakanlah Islam!
Dalam hukum Islam, kaidah taisir (pemberian kemudahan) diakui di samping kaidah saddudz-dzari’ah (pencegahan). (KW3: 172) Keduanya saling melengkapi dan saling menyeimbangkan. Bolehkah kita menerapkan satu kaidah saja dan tidak menerima kaidah lainnya? Jangan! Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya!” (al-Baqarah [2]: 208)
Seruan itu tidak hanya kami tujukan kepada pihak penghujat, tetapi juga kepada aktivis dan simpatisan ‘pacaran islami’. Di samping tidak berlebihan, kita pun jangan sampai berkurangan dalam mencegah zina!
Walau pada asalnya tidak tergolong ‘zina hati’, asmara pranikah bisa saja menjadi kurang berharga dan tidak dirahmati Allah. Yaitu ketika tercemari oleh nafsu syahwat yang tidak terkendali (‘zina hati’) atau nafsu kotor lainnya. Meski sudah terawasi oleh orang lain ketika kita berduaan, kita sendirilah yang tahu apakah kita terangsang oleh nafsu birahi ataukah tidak. Karena itu, kita harus peka dan mengenali gejolak syahwat kita, untuk kemudian mendengarkan suara hati nurani, seperti yang telah diteladankan oleh Yusuf a.s..
Nabi Yusuf a.s. berkata: “Wahai Tuhanku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka [untuk berzina]. Kalau tidak Engkau hindarkan tipu muslihat mereka dariku, aku akan cenderung kepada mereka, dan aku akan tergolong ke dalam orang-orang yang bodoh.” (Yusuf [12]: 33) Tuhan berfirman: “Katakanlah: ‘Jika … pasangan-pasangan kalian … lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya!’ Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” (at-Taubah [9]: 24)
Memang, kalau sekadar berjabatan tangan di saat pemberian ucapan selamat atau perjumpaan setelah lama berpisah, sedangkan Anda bergandengan tangan hanya bilamana perlu, dan ketika berboncengan pun berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan, maka saya tidak berani berprasangka yang bukan-bukan. Namun, bila Anda sering bergandengan tangan dengan sang pacar, dengan niat agar romantis atau untuk bermesraan, maka saya sangat meragukan keislamian aktivitas Anda ini. (Untuk romantis dalam pranikah secara Islami, lihat NAI: 87-100 dan 135-144.)
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. … Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka ia akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya [terhenti] pada apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Bolehjadi, niat yang mulialah yang melandasi dakwaan sebagian penghujat bahwa “Melegalisasi pacaran dengan dihiasi simbol-simbol Islam merupakan perilaku biadab, sama dengan mengotori Islam secara terang-terangan dan pelecehan [terhadap Islam] yang nyata. Akibatnya muncul image yang tidak baik terhadap Islam.” (PIA: 25) Namun, kami yakin bahwa islamisasi pacaran, sebagaimana islamisasi tasauf, bisa menjadi langkah yang beradab. Langkah ini dapat turut memperbaiki citra Islam, yang saat ini sering dihubungkan dengan terorisme dan kekerasan.
Sayangnya, sebagian penghujat bersikap benci dan antipati terhadap ‘pacaran islami’. Dengan keras mereka nyatakan bahwa pemahaman dan “istilah pacaran islami tuh … berbahaya.” (JNC: 76) Bahkan, mereka memandang para pendukung ‘pacaran islami’ sebagai “musuh dalam selimut” yang “lebih berbahaya daripada musuh yang jelas di depan mata.” Alasan mereka, semua aktivitas ‘pacaran islami’ merupakan “upaya pembusukan Islam dari dalam.” (PIA: 23) Namun, kami menyayangkan sikap kebencian dan posisi permusuhan mereka itu. Mengapa? Karena kami yakin bahwa para penyokong islamisasi pacaran, yang suka membersihkan diri, tidak mustahil dicintai Allah dan menjadi kekasih-Nya. (Lihat al-Baqarah [2}: 222 dan at-Taubah [9]: 108.) Sedangkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, maka sungguh Aku menyatakan perang kepadanya.” (HR Bukhari) Padahal, para pembenci ‘pacaran islami’ itu tidak ingin diperangi Allah, bukan?
Wahai pembenci ‘pacaran Islami’! “Bolehjadi kamu membenci sesuatu, padahal amat baik bagimu, dan bolehjadi [pula] kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 216) “Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak tahu tentangnya!” (al-Israa’ [17]: 36)
Sebagian penghujat barangkali kurang memahami sabda Rasulullah saw., “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (tidak jelas apakah halal ataukah haram) yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Barangsiapa yang menghindari hal-hal yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat PIA: 15-16 dan KHP: 169.) Bagi mereka yang tidak memahami hadits tersebut dengan baik, mereka mencukupkan diri dengan mengharamkan segala sesuatu yang sepengetahuan mereka belum jelas kehalalannya. Mereka sangka, begitulah kealiman yang terpuji. Padahal, orang alim ialah orang yang seraya menghindari yang syubhat, ia terus-menerus mencari tahu kejelasan, sehingga yang tampak jelas (halal atau haram) semakin banyak dan yang syubhat semakin sedikit. (KW3: 229)
Mungkin lantaran kebelumtahuan tentang ‘pacaran islami’, penghujat-penghujat itu mengatakan, “kagak ada maklum-makluman deh, sama … ‘pacaran islami’.” (KHP: 151) Mereka bersikukuh pada pendapat mereka sendiri. “Apa pun modus operandinya,” mereka memvonis, “yang namanya pacaran tetep haram, titik.” (KHP: 153)
Sikap ‘titik tebal’ itu tampak berbeda jauh dari sikap imam-imam mujtahid yang terbuka terhadap kemungkinan kelirunya fatwa mereka. Imam Abu Hanifah berwasiat, “Apabila perkataanku menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul saw., maka tinggalkanlah perkataanku.” Imam Malik berpesan, “Ketahuilah! Sebenarnya aku ini hanyalah seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah segala pendapatku. Tiap-tiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dia; dan yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah dia.” (PHI1: 166)
0 komentar:
Posting Komentar